Kamis, 08 Desember 2011

What superintendants and engineers need to know about fibre optics: describes the basics of fibre optic cables [Pulp and paper mill case study]

Abstract (summary)

Why use fibre optics?: The most obvious reasons to use fibre optics in industrial facilities are usually related to their excellent physical properties such as immunity to electrical noise and the ability to transmit large amounts of data. Less known but perhaps more importantly, fibre optics provide a single medium for a wide range of communication needs. For example, one fibre cable bundle can provide for the transmission of computer data, as well as communication between field devices and controllers, video images, voice, security and fire alarms. No other single type of cabling offers a communications pathway to such a wide variety of equipment.
Single-mode fibre is an optical glass fibre with a core diameter so small it has only one mode for light to travel. It is usually a fibre with a core size between 8 and 9 [Symbol Not Transcribed]m. Because of this straight path dispersion is almost zero. Single-mode is used in applications requiring long distances (up to 120 km) and extremely high bandwidth (10 Gigabits/sec), but the small diameter makes terminating and connecting difficult. It is rarely required today in industrial applications. Nevertheless, some engineers are including two or three pairs of single-mode fibre in multimode cable bundles to future-proof the design.
The cable selected was a tight-buffered 62.5/125[Symbol Not Transcribed]m multimode fibre. This tight-buffered cable was rated for both indoor and outdoor use and had an FT-4 flame rating. The tight-buffer significantly reduced the connector installation costs. The fibre count in the cable was initially design to be 12 fibres. However, the realization that the fibre would likely be used for both PLC and DCS highways and I/O, closed circuit video and the mill computer network soon pushed the fibre count to 24 fibres. These 24 fibres were split into two 12 fibre aluminum interlock armoured cables. The separate cables were easier to handle for installation and allowed some extra measure of redundancy. 

Senin, 10 Oktober 2011

PERLINDUNGAN HUKUM LOCKING SYSTEM PRODUK HP ESIA HUAWEI C 2605

ABSTRAK


 [ Nynda Fatnawati Octarina ]


 Esia sebagai salah satu operator CDMA bekerjasama dengan Huawei Technologies.Co.,LTD menyiapkan program lanjutan yaitu “Hape Esia NGOCEH” dengan tipe ponsel C 2605 yang memberikan bonus sms 240.000 karakter dengan biaya sms hanya Rp. 1,- (satu rupiah) per karakter dan kapasitas baterai sampai dengan 13 hari standby dan waktu bicara sampai 6,5 jam, ponsel ini dijual Bakrie Telecom dengan hanya seharga Rp. 199.000,- dengan harga pasaran Rp. 550.000,-. Namun sebagai kompensasi besarya subsidi yang diberikan Baknie Telecom, dalam ponsel tersebut disertakan program komputer pengunci “Locking System” sehingga tidak mungkin digunakan untuk operator lain. Sebuah kasus berkaitan dengan tindakan unlocking tersebut terjadi di Surabaya, yaitu antara Bakrie Telecom dan Michael Tan, seorang pemilik toko yang menjual berbagai jenis ponsel. Kasus ini telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan putusan Pengadilan Negeri mengalahkan pihak Michael Tan. Namun ternyata di masyarakat terjadi usaha untuk membuka (unlocking) locking system tersebut dengan tujuan agar ponsel tersebut dapat digunakan dengan operator lain, tidak hanya untuk Bakrie Telecom. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis secara yuridis normatif mengenai permasalahan locking system baik sebagai Ciptaan maupun sebagai Sarana Kontrol Teknologi yang nyata terjadi di tengah - tengah masyarakat, dengan membandingkan dengan antara fakta yang ada di masyarakat dan ketentuan dalam peraturan perundang undangan. Berdasarkan analisis tindakan membuka (unlocking) locking software bukanlah suatu pelanggaran Hak Cipta dalam kategori ‘mengumumkan’ dan ‘memperbanyak’ sesuai dengan konsep Hak Ekonomi dalam UUHC. Tindakan tersebut juga tidak melanggar Hak Moral Pencipta karena tindakan unlocking tersebut tidak mengubah ‘Ciptaan dan atau menghapus nama Pencipta sebagai perwujudan dan penghormatan terhadap Hak Moral yang dimiliki oleh Pencipta. Locking System dalam ponsel Huawei C 2605 bukan merupakan Sarana kontrol teknologi berdasarkan Pasal 27 UUHC karena fungsinya bukan sebagai pelindung Ciptaan. Sarana kontrol teknologi menurut UUHC adalah suatu instrument teknologi yang keberadaannya ditunjukkan untuk melindungi suatu Ciptaan dan suatu tindakan pelanggaran Hak Cipta termasuk Hak Ekonomi maupun Hak Moral Pencipta.

Permasalahan
Locking system adalah nama program komputer pengunci yang disertakan dalam telepon selular paket Hape Esia Ngoceh. Pengertian program komputer terdapat dalam UUHC Pasal 1 Angka 8 yaitu “sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi - fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam merancang instruksi - instruksi tersebut”. Sehingga Locking System dapat diartikan sebagai program komputer yang difungsikan sebagai pengunci. Dalam kasus Bakrie Telecom, locking system digunakan sebagai pengaman agar sebuah ponsel tidak dapat digunakan oleh operator lain selain Esia dan Bakrie Telecom. Menurut Pasal 1 Angka 1 UUHC, pengertian Hak Cipta adalah: “hak eksklusif bagi Pencipta atau Penerima Hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan - pembatasan menurut peraturan perundang - undangan yang berlaku”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1) Apakah locking system merupakan Ciptaan berdasarkan UUHC?
2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap Locking System menurut UUHC?

1. Kesimpulan
a. Locking System merupakan suatu Ciptaan yang dilindngi UUHC karena locking system berbentuk software yang merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi UUHC. Sebagai sebuah Ciptaan locking system juga mengandung hak eksklusif seperti hak moral dan hak ekonomi, sehingga perlindungan Hak Cipta pada ciptaan pada Ciptaan- Ciptaan lain yang dilindungi UUHC. Namun tindakan membuka (unlocking) locking software bukanlah suatu pelanggaran Hak Cipta dalam kategori ‘mengumumkan’ dan ‘memperbanyak’ sesuai dengan konsep Hak Ekonomi dalam UUHC. Tindakan tersebut juga tidak melanggar Hak Moral Pencipta karena tindakan unlocking tersebut tidak mengubah ‘Ciptaan dan atau menghapus nama Pencipta sebagai perwujudan dan penghormatan terhadap Hak Moral yang dimiliki oleh Pencipta.
b. Locking System dalam ponsel Huawei C 2605 bukan merupakan Sarana kontrol teknologi berdasarkan Pasal 27 UUHC karena fungsinya bukan sebagai pelindung Ciptaan. Sarana kontrol teknologi menurut UUHC adalah suatu instrument teknologi yang keberadaannya ditunjukkan untuk melindungi suatu Ciptaan dan suatu tindakan pelanggaran Hak Cipta termasuk Hak Ekonomi maupun Hak Moral Pencipta. Sarana kontrol teknologi ini sangat diperlukan terutama bagi Ciptaan yang dihasilkan dan teknologi yang tinggi seperti teknologi digital. Locking System dalam ponsel Huawei C 2605 ditunjukkan untuk membatasi penggunaan operator dan bukan untuk melindungi Ciptaan yang terdapat dalam ponsel tersebut.
2. Saran
a. Menerapkan konsep ‘Mobile Plan’ yang telah digunakan di luar negeri. Dalam konsep ini sama halnya dengan penjualan bundel, yakni operator menyediakan paket ponsel, namun konsumen membeli ponsel tersebut secara mencicil dalam jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu tertentu itulah konsumen terikat untuk menggunakan produk dari operator yang bersangkutan, namun apabila jangka waktu telah berakhir, dan cicilan telah dilunasi, maka operator membebaskan konsumen untuk tetap berlangganan dengan operator tersebut atau memilih operator yang lain. Hal ini akan menimbulkan kejelasan bagi kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban masing – masing. Selain itu konsep mobile plan ini sama sekali tidak mengikat konsumen.
b. Pencipta atau pemegang hak cipta atas ciptaan berteknologi tinggi wajib menyertakan sarana kontrol teknologi untuk melindungi ciptaannya. Sekaligus mencantumkan semacam peringatan kepada pihak lain terhadap keberadaan sarana kontrol teknologi berikut larangan untuk merusak maupun meniadakannya.
c. Pengaturan lebih rinci dalam bentuk peraturan perundang undangan mengenai sarana kontrol teknologi sebagai instrumen pelindung Ciptaan sehingga tercapai kepastian hukum.
d. Penyelenggaraan edukasi dan sosialisasi mengenai konsep hak kekayaan intelektual terutama hak cipta kepada masyarakat luas. 

Perlindungan bagi konsumenn atas label yang merugikan

ABSTRAK


 [ Djarot Pribadi ]


 Perusahaan dalam menjalankan usaha memasarkan produknya sampai ke tangan konsumen tidak jarang melibatkan pihak-pihak, misalnya ditributor, agen dan pengecer serta gudang dan pengelola barang. Kerjasama tersebut diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan pihak distributor, agen atau pengelola barang.

Perjanjian yang dimaksud yaitu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat B.W.), tentang Perikatan. Buku III B.W., tersebut menganut asas terbuka atau kebebasan berkontrak, maksudnya memberikan kebebasan kepada pihak-pihak yang membuat perjanjian asalkan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.

Berdasarkan pasal 1313 B.W., mengartikan perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian dapat dibuat dalam suatu akta baik akta di bawah tangan maupun akta otentik, dan bahkan dibuat secara tidak tertulis yang didasarkan atas kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Permasalahan
Perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang sesuai dengan ketentuan pasal 1338 B.W., yang menentukan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa dalam perjanjian hanya menekankan pada terpenuhinya syarat perjanjian sebagaimana pasal 1320 B.W. Namun dalam perjanjian kerjasama antar perusahaan ini tidak jarang terjadi suatu permasalahan yang semula tidak terpikirkan, terutama bagi pihak yang menandatangani perjanjian maupun operasional di lapangan.

Simpulan bahasan
Perjanjian yang demikian ini terjadi antara Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT) Petrokimia Gresik perusahaan yang berkedudukan di
Jalan Jenderal Akhmad Yani, Gresik yang bergerak di bidang Pupuk dengan PT Bhanda Ghara Reksa, berkedudukan di Jalan Kali Besar Timur No. 57 Jakarta. Hubungan hukum tersebut dituang kan dalam Perjanjian Antara PT Petrokimia Gresik dengan PT Bhanda Ghara Reksa tentang Sewa Menyewa dan Pengelolaan Gudang Milik PT Petrokimia Gresik.

PT Bhanda Ghara Reksa sebagai pengelola gudang. Pengelola gudang tersebut maksudnya yaitu serangkaian kegiatan yang meliputi pembongkaran, penyimpanan, pemuatan, rebaging (jika diperlukan), administrasi dan pengamanan pupuk di gudang. Di dalam perjanjian pengelolaan barang tersebut tercantum pula mengenai sanksi dan ganti kerugian. Di antaranya adanya larangan ngepok tanpa izin tertulis dari PT Petrokimia Gresik, menjadi perantara penjualan Delivery Order, selanjutnya disingkat DO milik distributor/ pembeli, larangan menggunakan gancu dalam pengelolaan pupuk dan pengurangan/penyulingan terhadap isi pupuk.

Mengenai pengelolaan pupuk di gudang dibebankan kepada Kepala Gudang sebagai pekerja PT Bhanda Ghara Reksa. Hal yang sering terjadi adalah pembongkaran menggunakan gancu, menjadi perantara penjualan Delivery Order, yang tentunya melanggar perjanjian. Padahal jika dikaitkan dengan kepala gudang sebagai pekerja pada PT Bhanda Ghara Reksa, sehingga termasuk orang-orang yang menjadi tanggungan dari PT Bhanda Ghara Reksa.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang dipermasalahkan dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana hukum perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang diatur dalam Hukum Perdata ?
2.
Bagaimana keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian baku sewa menyewa dan pengelolaan gudang ?

Berhubungan dengan sewa menyewa dan pengelolaan gudang antara PT Petrokimia Gresik dengan PT Bhanda Ghara Reksa dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang tidak diatur dalam KUH Perdata, sehingga termasuk perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang termasuk perjanjian tidak bernama. Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang tersebut karena asas kebebasan berkontrak sebagaimana Buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang milik PT Petrokimia tersebut dibuat secara baku, maksudnya klausulanya sudah dibakukan.
b.
Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang antara PT Petrokimia dengan PT Bhanda Ghara dibuat secara baku, sehingga tidak ada pilihan lain bagi PT Bhanda Ghara Reksa untuk tidak memberikan kesepakatan atas isi klausula perjanjian tersebut. Padahal terdapat klausula mengenai sanksi ganti kerugian sebagaimana pasal 9 memberatkan PT Bhanda Ghara Reksa, karena klausula ganti kerugian tersebut pihak PT Bhanda Ghara Reksa tidak ada tawar menawar. Kondisi yang demikian ini tidak lepas dari perbedaan posisi, sehingga tidak ada keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian sewa menyewa dan di pengelolaan gudang, menempatkan posisi PT Petrokimia Gresik pada posisi ekonomi yang lebih tinggi.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
a.
Meskipun perjanjian sewa menyewa diatur dalam Hukum Perdata atau sebagai perjanjian bernama dan untuk pengelolaan gudang hanya sebagai
b.
Perjanjian yang didasarkan kesepakatan para pihak, maka hendaknya dalam perjanjian tersebut dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang kepatutan dan kebiasaan, agar tidak merugikan salah satu pihak.
c.
Hendaknya PT Bhanda Ghara Reksa mengajukan keberatan kepada PT Petrokimia Gresik atas klausula yang memberatkan khususnya mengenai pemuatan dengan cara ngepok, karena jelas-jelas merugikan PT Bhanda Ghara Reksa, agar terjadi keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang milik PT Petrokimia Gresik

TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA DAN PENGELOLAAN GUDANG

ABSTRAK


 [ Djarot Pribadi ]


 Perusahaan dalam menjalankan usaha memasarkan produknya sampai ke tangan konsumen tidak jarang melibatkan pihak-pihak, misalnya ditributor, agen dan pengecer serta gudang dan pengelola barang. Kerjasama tersebut diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan pihak distributor, agen atau pengelola barang.

Perjanjian yang dimaksud yaitu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat B.W.), tentang Perikatan. Buku III B.W., tersebut menganut asas terbuka atau kebebasan berkontrak, maksudnya memberikan kebebasan kepada pihak-pihak yang membuat perjanjian asalkan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.

Berdasarkan pasal 1313 B.W., mengartikan perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian dapat dibuat dalam suatu akta baik akta di bawah tangan maupun akta otentik, dan bahkan dibuat secara tidak tertulis yang didasarkan atas kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Permasalahan
Perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang sesuai dengan ketentuan pasal 1338 B.W., yang menentukan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa dalam perjanjian hanya menekankan pada terpenuhinya syarat perjanjian sebagaimana pasal 1320 B.W. Namun dalam perjanjian kerjasama antar perusahaan ini tidak jarang terjadi suatu permasalahan yang semula tidak terpikirkan, terutama bagi pihak yang menandatangani perjanjian maupun operasional di lapangan.

Simpulan bahasan
Perjanjian yang demikian ini terjadi antara Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT) Petrokimia Gresik perusahaan yang berkedudukan di
Jalan Jenderal Akhmad Yani, Gresik yang bergerak di bidang Pupuk dengan PT Bhanda Ghara Reksa, berkedudukan di Jalan Kali Besar Timur No. 57 Jakarta. Hubungan hukum tersebut dituang kan dalam Perjanjian Antara PT Petrokimia Gresik dengan PT Bhanda Ghara Reksa tentang Sewa Menyewa dan Pengelolaan Gudang Milik PT Petrokimia Gresik.

PT Bhanda Ghara Reksa sebagai pengelola gudang. Pengelola gudang tersebut maksudnya yaitu serangkaian kegiatan yang meliputi pembongkaran, penyimpanan, pemuatan, rebaging (jika diperlukan), administrasi dan pengamanan pupuk di gudang. Di dalam perjanjian pengelolaan barang tersebut tercantum pula mengenai sanksi dan ganti kerugian. Di antaranya adanya larangan ngepok tanpa izin tertulis dari PT Petrokimia Gresik, menjadi perantara penjualan Delivery Order, selanjutnya disingkat DO milik distributor/ pembeli, larangan menggunakan gancu dalam pengelolaan pupuk dan pengurangan/penyulingan terhadap isi pupuk.

Mengenai pengelolaan pupuk di gudang dibebankan kepada Kepala Gudang sebagai pekerja PT Bhanda Ghara Reksa. Hal yang sering terjadi adalah pembongkaran menggunakan gancu, menjadi perantara penjualan Delivery Order, yang tentunya melanggar perjanjian. Padahal jika dikaitkan dengan kepala gudang sebagai pekerja pada PT Bhanda Ghara Reksa, sehingga termasuk orang-orang yang menjadi tanggungan dari PT Bhanda Ghara Reksa.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang dipermasalahkan dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana hukum perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang diatur dalam Hukum Perdata ?
2.
Bagaimana keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian baku sewa menyewa dan pengelolaan gudang ?

Berhubungan dengan sewa menyewa dan pengelolaan gudang antara PT Petrokimia Gresik dengan PT Bhanda Ghara Reksa dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang tidak diatur dalam KUH Perdata, sehingga termasuk perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang termasuk perjanjian tidak bernama. Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang tersebut karena asas kebebasan berkontrak sebagaimana Buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang milik PT Petrokimia tersebut dibuat secara baku, maksudnya klausulanya sudah dibakukan.
b.
Perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang antara PT Petrokimia dengan PT Bhanda Ghara dibuat secara baku, sehingga tidak ada pilihan lain bagi PT Bhanda Ghara Reksa untuk tidak memberikan kesepakatan atas isi klausula perjanjian tersebut. Padahal terdapat klausula mengenai sanksi ganti kerugian sebagaimana pasal 9 memberatkan PT Bhanda Ghara Reksa, karena klausula ganti kerugian tersebut pihak PT Bhanda Ghara Reksa tidak ada tawar menawar. Kondisi yang demikian ini tidak lepas dari perbedaan posisi, sehingga tidak ada keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian sewa menyewa dan di pengelolaan gudang, menempatkan posisi PT Petrokimia Gresik pada posisi ekonomi yang lebih tinggi.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
a.
Meskipun perjanjian sewa menyewa diatur dalam Hukum Perdata atau sebagai perjanjian bernama dan untuk pengelolaan gudang hanya sebagai
b.
Perjanjian yang didasarkan kesepakatan para pihak, maka hendaknya dalam perjanjian tersebut dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang kepatutan dan kebiasaan, agar tidak merugikan salah satu pihak.
c.
Hendaknya PT Bhanda Ghara Reksa mengajukan keberatan kepada PT Petrokimia Gresik atas klausula yang memberatkan khususnya mengenai pemuatan dengan cara ngepok, karena jelas-jelas merugikan PT Bhanda Ghara Reksa, agar terjadi keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian sewa menyewa dan pengelolaan gudang milik PT Petrokimia Gresik.